Tak menjamah Puncak Gunung Kencana. Puncak Pass pun tak Mengapa


Kita tidak akan pernah mampu menaklukan gunung, karena bukan gununglah yang kita taklukan, melainkan diri kita sendiri." -Edmund Hillary-


Inilah ungkapan kerendahan hati dari "penakluk" pertama gunung everest. Ya, begitulah seharusnya kita semua. Termasuk para sepeda yang doyan "jalan miring". Tidak jumawa ketika mampu melibas tanjakan yang tinggi.

Lah kok mendaki gunung disandingkan dengan bersepeda? Tak masalah juga kan, malah lebih asik dan menantang. Yap ini suatu hal baru bagi saya melakukan dua olahraga endurance sekaligus dalam satu waktu.

Meski tak sampai puncak yang kedua. Namun saya tetap senang menjalankannya. Puncak pertama yakni titik tertinggi jalan raya Puncak, Bogor dikenal dengan Puncak Pass atau para pesepeda biasanya menyebutnya Warung Mang Ade.

Puncak kedua yakni puncak Gunung Kencana. Padahal sekitar 45 menit lagi sampai dengan berjalan kaki, tenaga pun masih sangat cukup. Namun, akhirnya saya mengurungkan niat mencapainya. Sebab tak ada kawan yang mau menemani. Yasudahlah, mungkin lain kali saya bisa mengunjunginya tanjakan sambalado menuju puncak Gunung Kencana. 

Saya bersama 12 pesepeda dari Koskas Bogor mencoba mencicipi trek menuju Gunung Kencana, Cisarua, Bogor. Karena perjalanan yang cukup jauh, mereka memutuskan untuk menaikan sepeda di mobil bak (loading).

Mengayuh pedalnya dimulai di pintu gerbang kawasan kebun teh menuju Gunung Kencana. Biaya yang dikenakan cukup mahal yakni 25 ribu/orang. Padahal di tiketnya, harga tersebut untuk pengunjung Wisata Alam Telaga Warna. Ah yasudahlah.

Karena bujuk rayu yang memikat, saya berhasil membuat Kang Nanang mengurungkan niat ikut loading. Yap hanya kami berdua yang ngaboseh (bersepeda) dari Bogor kota hingga Puncak Pass dan lanjut ke Gunung Kencana.

Meski Kang Nanang sudah "sesepuh" di olahraga Kalistenik, (jangan ditanya otot bagian atasnya) namun tak menjamin ketika mengayuh pedal. Ya, engap, lelah menghampirinya. Tapi ketika saya beritahu dia teknik bersepeda yang benar saat melahap tanjakan panjang, napas dan kecepatannya mulai stabil. Meski tak cepat, namun bisa tanpa banyak berhenti istirahat.

Namun, karena trek menuju Puncak Pass tanjakannya cukup panjang, terlihat sekali rasa lelah dari raut wajahnya saat mencapai Mesjid Atta'awun. "Rekor ni sudah sampai sini," ujar Kang Nanang.
Yah wajar, dia belum pernah gowes sampai dari Kota Bogor hingga Warung Mang Ade. Saya tak menyuruh dia berhenti, meskipun dia sudah telihat puas sampai sana. "Tanggung kalau mau istirahat di Warung Mang Ade saja ya, 400 meter lagi sampai," ujar saya.

Saya tetap mengowes dibelakangnya, dan memberikan dorongan mental agar dia terus mengayuh pedal. Akhirnya sampai juga di Warung Mang Ade. Dengan waktu kurang lebih empat jam, cukup cepat bagi pemula. Sebab, awal ke sana saya sampai empat jam lebih  Cekrek-cekrek, dan ngemil.
"Waduh sampai gemeteran saya ni. Gila capek banget kesini doang. Ke gunung Kencana masih nanjak pula," katanya gelisah. Agar otot kaki tak semakin dingin, tanpa berlama-lama kami menuju Gunung Kencana.

Saya pikir rombongan lainnya menunggu di pintu masuk. Nyatanya mereka sudah sampai Desa Cikoneng, lima kilometer sampai pos pemberhentian pertama Gunung Kencana. Ah, kami ditinggal. Tak masalah nanti toh bakal berjumpa juga.

Treknya menuju Gunung Kencana cukup menggoda. Sebab akhirnya sepeda kami memasuki habitat aslinya. Yah trek makadam. Bergelombang dengan balutan batu diam dan tanah yang kering.
Pemandangannya tak kalah ciamik. Deretan perbukitan hijau kebun teh menjadi pelepas dahaga, sebab sebelumnya trek menuju Warung Mang Ade hanya berisi aspal dan polusi kendaraan.

Karena asik melahap si makadam, saya hampir lupa dibelakang ada Kang Nanang. Tertinggal cukup jauh. Mungkin sudah batas gowes baginya. Saya pun berhenti menantinya, seperti biasa kembali mengikutinya dari belakang.

Terkadang tanpa sadar jiwa sweeper pun hilang, menyalipnya kembali. Aduh mungkin gara-gara "disiksa" orang K-Night (kemaleman) jadi doyan trek begini. Padahal dulu saya paling takut melibas trek makadam terlebih turunan.

Teryata ditengah perbukitan kebun teh ini ada Situ Telaga Saat, yang notabene titik nolnya Sungai Ciliwung. Mungkin jarang yang mengetahuinya, bahkan orang Bogor belum bayak yang tahu tempat ini.

Saking asik melahap turunan makadam, kami hingga salah jalan cukup jauh. Waduh PR sekali kembali ke persimbangan diatas. Turunnya gokil, nanjaknya lebih gokil. Pelan-pelan saja asal sampai selamat.

Ta~daaaa sampai juga di Desa Cikoneng, tepat pukul 12 siang. Namun rombongan lainnya sudah melanjutkan perjalanan. Yah kami beruda ditinggal lagi. Untuk mengisi energi, maka sholat dan makan siang sebelum melanjutkan perjalanan. Masih sekitar lima kilometer lagi sampai pos pendakian Gunung Kencana.

Ada yang lucu sepanjang perjalanan. Banyak para remaja pencinta gunung menaiki motor menuju pintu masuk Gunung Kencana. Padahal jika jalan dari Desa Cikoneng, menurut saya itu lebih asik.
Tiap orang membawa ransel sangat besar sekitar 60 hingga 80 liter. Saat saya bertanya ternyata hanya untuk bermalam satu hari. Eemm buat apa bawa ransel sebesar itu ya. "Biar keren kali ya saat dipoto," pikir saya.

Wow lima kilometer yang melelahkan, nanjak terus. Singkat waktu akhirnya berjumpa dengan rombongan lainnya. Yes, tinggal berjalan kaki maka akan sampai ke Puncak Gunung Kencana. Tapi tak ada yang menemani.

Kang Nanang sudah menyerah disini. Namun saya tetap salut kepadanya yang sudah berhasil melewati batas kekuatannya. Jadi kali ini tak ada yang sampai ke puncaknya. Hanya Mang Okky, Mang Harkat, Dua Mamang Indra yang sampai Pos Pertama Gunung Kencana.

Turun menuju Desa Cikoneng. Disana sudah disiapkan makanan untuk ngeliwet oleh penduduk setempat. Sebab, salah satu kawan sudah kenal dekat dengan sang pemilik rumah. Yummy, nikmatnya kebersamaan ini.

Setelah makan, azan ashar tiba, bergegas sholat dan melanjutkan gowes ke Kota Bogor. Trek yang dilalui berbeda saat berangkat. Kali ini lebih single trek turunan yang kami lalui, tanpa kebun teh. Asik, seru sekali.

Saking serunya, ban saya bocor. Untungnya Mang Iyas membawa ban serep. Sebenarnya saya juga membawanya, tapi ban cadanganya bocor juga. Aduh koplak dah bawa ban cadangan sudah bocor.

Yang paling nyesek adalah Mang Harkat, satu-satunya rombongan yang sepedanya bukan jenis MTB. Sepeda turing fork rigid jalan aspal dengan dropbarnya. Sulit sekali mengendalikan sepedanya di trek ini.

Saya paham penderitaannya. Sangat pegel otot bicepnya. Dua bulan begitu dijamin bakal kekar tanpa push up. Pelan namun kami tetap menunggunya. Tak lama berselang, insiden kembali terjadi anting RD Mang Okky putus. 

Ini korban kedua. Sebelumnya, hal yang sama dirasakan sepeda Mang Dede. Bedanya sepeda Mang Dede masih bisa digowes meski single speed. Yang Mang Okky, tak bisa sebab rantainya sudah udzur. Diakalin Mang Iyas pun tetap tak bisa.

Akibatnya, kelompok kami terpecah tiga, sebab yang didepan tak tahu kejadian ini. Tak mengapa yang penting tak ada yang ditinggal sendiri. Saya dan Rafly bergantian medorong sepeda Mang Okky hingga rumahnya. Untungnya sudah tak banyak tanjakan lagi, jadi lebih mudah.

Waktu sudah jam 18.30, untungnya jam segini sudah sampai rumah Mang Okky didaerah berpenduduk. Sebab yang siap senter hanya beberapa orang saja, jika masih di jalur single trek sangat berbahaya. Dari sini kami berpencar pulang kerumah masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasionalitas Akal Mencari Tuhan

Peta Perjalannya Manusia (bagian 1)