Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Tak menjamah Puncak Gunung Kencana. Puncak Pass pun tak Mengapa

Gambar
Kita tidak akan pernah mampu menaklukan gunung, karena bukan gununglah yang kita taklukan, melainkan diri kita sendiri." -Edmund Hillary- Inilah ungkapan kerendahan hati dari "penakluk" pertama gunung everest. Ya, begitulah seharusnya kita semua. Termasuk para sepeda yang doyan "jalan miring". Tidak jumawa ketika mampu melibas tanjakan yang tinggi. Lah kok mendaki gunung disandingkan dengan bersepeda? Tak masalah juga kan, malah lebih asik dan menantang. Yap ini suatu hal baru bagi saya melakukan dua olahraga endurance sekaligus dalam satu waktu. Meski tak sampai puncak yang kedua. Namun saya tetap senang menjalankannya. Puncak pertama yakni titik tertinggi jalan raya Puncak, Bogor dikenal dengan Puncak Pass atau para pesepeda biasanya menyebutnya Warung Mang Ade. Puncak kedua yakni puncak Gunung Kencana. Padahal sekitar 45 menit lagi sampai dengan berjalan kaki, tenaga pun masih sangat cukup. Namun, akhirnya saya mengurungkan niat mencapai

Gowes Spesial Melalui Jalur Antaberantah (Bagian Dua)

Gambar
Ujian Chapter 3 Memasuki Kebun Sawit, meski sudah bersama, lambat laun rombongan kembali terpecah tiga. Saya berada dirombongan kedua seperti biasa ditemani Om Gussur dan Om Vidi. Meski sebenarnya mereka bisa saja bergabung dengan rombongan depan. Disini saya kembali diambang batas kemampuan. kebun sawit yang terbuka, membuat panasnya sang mentari kian terasa. Trek makadam yang menanjak menambah sensasi mengerikan. Keringatpun mengucur deras, bahkan tanpa sadar terkadang saya meminum keringat sendiri. Tiap tanjakan, Om Vidi selalu duluan dan menanti saya dan Om Gussur di ujung tanjakan. “Dikit lagi sampai,” ujar Om Vidi sambil mengambil foto kami yang sudah kepayahan. Berapa meter kemudian Om Vidi berteriak sambil menunjuk ke depan. Dari kejauhan terlihat tanjakan yang aduhai mengerikan sekali. “Lihat, itu tanjakannya selanjutnya,” ujarnya. Saya hanya melihat tanjakan itu sekilas tak mau melihatnya lagi. Perlahan tapi pasti. Taa-Daaa, sampai juga dipembukaan tanjakan

Gowes Spesial Melalui Jalur Antaberantah (Bagian satu)

Gambar
Gowes kali ini mengajarkan arti kehidupan dan mengiatkan akan kematian. Sebab batasan fisik sudah diambang batas. Tak tahu apakah masih sanggup melanjutkan atau malah tergeletak lemas di jalan. Atas Rahmat Allah kami semua selamat sampai tujuan. Berawal sering melihat postingan trek dan poto-poto gowesnya Om Ade Anwar (AA) dengan tim K-Night yang sangat menarik, saya pun kerap berandai-andai bisa bersepeda bersama mereka. Ah, rasanya tak mungkin fisik dan mental bersepeda saya masih amat jauh dari mereka. Bisa-bisa bakal jadi beban dan menyusahkan yang lainnya. Toh trek yang mereka santap sering diluar kota dan saat ini tak mungkin saya menjangkaunya. Namun sekitar sebulan yang lalu Om AA berencana mengadakan trip gowes yang masih disekitaran Bogor-Sukabumi. Yang katanya cocok untuk nyubie. Wah ini kabar baik, namun saya masih ragu dengan kemampuan gowes yang hanya biasa melewati trek MTB ringan. Ternyata alumni Halimun Loop, Mang Yopi dan Oki pun tertarik, tanpa Ghani

Bersepeda ke Makam Para Pelaut Asal Jerman

Gambar
Selepas sholat subuh saya sudah bersiap-siap bersepeda ke Puncak, Bogor. Namun gagal. Tapi tak mengapa, toh banyak destinasi mengasikan bersepeda di kawasan Bogor. Bersepeda tanpa tujuan. Saya tak mengira di jalan berjumpa Om Atunk yang juga masih meraba arah tujuan. Demit & Warung Warso menjadi pilihan. Ditengah jalan sambil berbincang, entah mengapa kami terbesit Situs Makam Jerman. Roda pun berputar menuju Bendungan Katulampa - Gadog terus berputar sampai tujuan. Situs yang terletak di De sa Sukaresmi, Megamendung, Bogor ini cukup mudah dikunjungi. Dari arah Kota Bogor, masuk saja jalan di belokan kanan pertama setelah Mesjid Agung Harakatul Jannah Godog.  Nanjak ? Iya itu pasti. Namun jalannya mulus dibalut aspal dan beton sesekali berlubang namun tetap nyaman untuk tipe Mountain Bike (MTB) ataupun Road Bike (RB) dengan ban 25'. Tekstur jalannya mirip ke Pabangbon, naik-turun, rolling . Bedanya; banyak intervalnya untuk bernapas, tak terlalu tajam dan seseka

Memburu Trek Makadam di Gunung Halimun

Gambar
Pernakah bersepeda 25km dengan gradien sekitar 1-5 persen? Jika pernah, mungkin tak sampai memakan waktu tiga jam. Namun, kami menempuh jarak itu selama lima jam, bahkan mungkin lebih. Kok lama sekali ya, sesantai apa sih gowesnya. Tak seperti itu kok, dengan waktu tersebut ternyata 90 persen tenaga kami terkuras. Sebab trek yang saya tempuh bersama Oki Zakaria, Yopi Sopian & Naufal Ghani sejauh 25km itu full makadam. Agar Cadence  tetap terjaga saat melibas trek ini, memang paling baik menggunakan sepeda MTB tipe fullsuspensi seperti yang digunakan Kang Oki. Jika tak ada, maka gunakan fork angin kelas menengah, semisal XCR atau Epixon Suntour. Jika tidak maka akan bernasib seperti saya. Setelah "nyabu" di dekat PLTA Karacak, Cianten. Pukul 08.00 WIB kami mulai berangkat menuju warung Mang Ujang yang berdekatan dengan kebun Teh Cianten. Yah meski ngaret selama dua jam. Karena perjalanan masih sangat panjang. Saat menuju kebun teh yang menanjak, kami manfaatkannya