Gowes Spesial Melalui Jalur Antaberantah (Bagian Dua)


Ujian Chapter 3

Memasuki Kebun Sawit, meski sudah bersama, lambat laun rombongan kembali terpecah tiga. Saya berada dirombongan kedua seperti biasa ditemani Om Gussur dan Om Vidi. Meski sebenarnya mereka bisa saja bergabung dengan rombongan depan.

Disini saya kembali diambang batas kemampuan. kebun sawit yang terbuka, membuat panasnya sang mentari kian terasa. Trek makadam yang menanjak menambah sensasi mengerikan. Keringatpun mengucur deras, bahkan tanpa sadar terkadang saya meminum keringat sendiri.

Tiap tanjakan, Om Vidi selalu duluan dan menanti saya dan Om Gussur di ujung tanjakan. “Dikit lagi sampai,” ujar Om Vidi sambil mengambil foto kami yang sudah kepayahan. Berapa meter kemudian Om Vidi berteriak sambil menunjuk ke depan. Dari kejauhan terlihat tanjakan yang aduhai mengerikan sekali. “Lihat, itu tanjakannya selanjutnya,” ujarnya.

Saya hanya melihat tanjakan itu sekilas tak mau melihatnya lagi. Perlahan tapi pasti. Taa-Daaa, sampai juga dipembukaan tanjakan. Kami berjumpa Om Jommy dan Om Elang yang sedang duduk melepas lelah sebelum melahat tanjakan super ini. Terlihat Om Jwk, Mang Yopi, dan Ghani berusaha melahapnya.

Cekrek-cekrek pencitraan dulu, sebelum nanjak TTB. Sebab ini miring sekali, super makadam dan panjang. Tak ada yang berhasil lulus ditanjakan ini. Saya banyak TTB yang lainpun sama, tapi Om Jwk nampaknya juga berhenti namun sedikit TTB.

Memasuki perkampungan. Ngemil diwarung sebentar, lanjut lagi dengan trek yang serupa tanpa tanjakan super sadis. Waktu asar tiba, dan langit terlihat kelabu. Sepertinya bakal turun hujan. Saat berhenti di mussola kami bertanya kepada warga apa sering hujan disini. Jawabnya cukup mengejutkan. Ternyata sudah sebulan tak hujan disini, ketika kami melewatinya hujanpun turun. Moga perjalanan kami membawa kebaikan.

Trek rolling makadam, Om Gussur terjatuh saat menanjak. Untung tak fatal. Oia Om Gussur ini salah satu inspirasi saya gowes jauh, saya mengenalnya dari tulisan blognya, namun baru bertemu. Tak berselang lama, yang lebih tragis, sepatu Ghani jebol, diapun memperlambat pace nya. Hujan semakin deras, kami berteduh di warung terdekat. Rombongan ketiga pun tiba, saat maghrib menjelang.

Suasana kekeluargaan amat terasa disini. Tak ada kecanggungan antara kami, tawa lepas bahagia seolah lupa, bahwa di depan masih banyak trek ganas menanti. “Kalau sampai finish bakal ketagihan, kalau tidak maka bakal kapok,” ujar Om AA.


Ujian Chapter 4

Hujan pun reda, senter dinyalakan, saatnya melahap trek rolling super makadam  yang sangat panjang. Disini kami banyak TTB sebab trek licin, batunya cadas, besar dan bergerak. Alhamdullilah setelah terbiasa, badan sudah nyaman, tanpa sakit dibagian pingang saat TTB. Sunyi, sepi, tanpa sinar bintang dan rembulan. Saya pun tak tahu dikanan kiri itu kebun, hutan, atau malah jurang.

Tak ada tanda-tanda kehidupan. Pokoknya jalan saja hingga memasuki perkampungan. Karena tak ingin meninggaklan teman sendiri ditengah kegelapan, saya menemani Om Iman di trek ini, sebab yang lain sudah melesat jauh dan menanti di persimpangan jalan.

Meski endurance tak sekuat yang lainnya, namun urusan mental Om Imam jawaranya. Dia pernah tertinggal rombongan K-Night dan gowes sendirian di tengah hutan Gunung Halimun sendiri malam hari. Ngeri-ngeri sedap euy.

Lambat laun, tanpa sadar saya meninggalkan dia sendiri, untungnya hanya sekitar 100m lagi sampai rombongan yang menunggu di warung persimpangan jalan. Ghani pun mengganti sepatu kirinya dengan sandal. Dan ternyata sepatu Om AA pun sepatunya jebol semakin parah. Namun dia tetap memakainya. Tak mau terbuai kenyamanan suasana. Kami melanjutkan perjalanan.

Ujian Chapter 5

Singkat cerita sampailah di pertigaan menuju Kesepuhan Citorek. Kami berbaring di depan emperan toko yang tutup. Rasanya tak jauh beda dengan tidur kamar dengan kasur ber AC. Nikmat sekali, tapi masih ada 12km lagi sampai tujuan.

Saya semakin semangat. Treknya pun lebar, berlapis beton dan cendrung sepi karena sudah malam. Om AA menanti Om Imam yang tertinggal dan sisanya meneruskan perjalanan. Melihat Bli Nyoman yang pace nya menurun saya pun menemaninya hingga tujuan. Toh sebentar lagi sampai juga pikir saya.

Diluar dugaan, ternyata gowes 12 km disini berasa gowes puluhan kilometer. Karena treknya masih menanjak dan hanya tersisa remah-remah stamina. Bli Nyoman tampak kelelahan, namun semangatnya tak pernah padam. Tiap 100 meter ditanjakan nan panjang itu kami berhenti. Ditemani sinar rembulan yang mulai terlihat dan suara-suara binatang malam menyertai perjalanan kami.

“Sebentar lagi ada turunan panjang kok. Ada gerbangnya,” ujar Bli Nyoman yang sudah pernah melalui trek ini. Namun kami tak menemukannya, seolah turunan hanya halusinasi saja. Ngantuk sangat, rasanya saya ingin tidur dipinggir jalan saja dan melanjutkan perjalanan esok pagi.

Kalau bahasanya Bli Nyoman tak masalah gowes merayap seperti keong encok yang penting sampai tujuan. Ternyata bukan halusinasi, jalan menurun pun ada, gerbang terlihat. Sampailah di rumah Pak Jajang, Kepala Desa Citorek pukul 01.10 WIB. Mandi, sholat, makan, dan tidur.

Hari Kedua; Minggu 22/07/2018.
Azan subuh berkumandang, kami semua pun bangun. Sepertinya ujiannya bakal lebih gila dari hari pertama. Ghani memutuskan untuk pulang, diantar kerabatnya Om AA menggunakan mobil. Ghani merasa sudah melampuai batas dirinya, dan tak mungkin bisa diteruskan. Namun kami semua mengapresinya, sebab dialah peserta termuda. Salut buat Ghani.

Sambil sarapan kami kembali berunding mengenai trek selanjutnya. Apakah dilanjut melalui Gunung Bongok-Ciptagelar-Pelabuhan ratu. Sebab seninnya diantara kami ada yang harus masuk kerja. keputusan kami tak melewati Ciptagelar. Kami pun berpamitan dengan tuan rumah dan memulai perjalanan.

Menyiapkan amunisi kami berhenti di indomart di Citorek, ini menjadi toko mewah satu-satunya yang kami kunjungi selama perjalanan. Biasanya hanya diwarung klontong sederhana saja. Selama gowes bersama teman bukan K-Night, toko mewah ini kerap saya kunjungi berkali-kali. Gowes kali ini beda sekali.

Tujuan selanjutnya menuju Warung Banten, berjarak tak lebih dari 30 km, tapi treknya didominasi makadam yang aduhai. Dengan skill yang mempuni Om Jwk jauh meninggalkan kami. Mang Yopi, Om Vidi pun melibas makadam dengan kecepatan diatas saya. Untungnya di trek ini matahari masih bersahabat.

Saat memasuki trek aspal menanjak yang hanya sekitar 5 km, panas matahari sudah tak bersahabat. Berat sekali rasanya gear belakang cog 36 paling besar saya gunakan. Full ngicik, tapi amat pelan, biarlah yang penting sampai.

Sampai di pertigaan Warung Banten, saya berjumpa Om Jommy dan Om Elang dan kami mencari tempat makan terdekat. Sekaligus menanti rombongan dibelakang. Om Vidi sortcut trek duluan langsung ke Pelabuhan Ratu melalui jalan aspal.

Kamipun berdiskusi apakah lanjut ke Ciptagelar melalui Gunung Bongkok, atau mengikuti trek Om Vidi. Diputuskan langsung ke Pelabuhan Ratu saja, sebab jika melalui trek amazing Ciptagelar bisa jam 12 malam bahkan lebih.

Namun kami terwakili oleh Om Jwk yang melalui trek amazing tersebut. Ciptagelar menjadi Ciptageli. Geli melihat hanya dia sendiri yang sampai kesana. Kami tertawa membayangkannya. Di dekat jembatan perbatasan Banten-Sukabumi kami mengisi amunisi terbaik berupa sate kambing.

Benar saja, sehabis melahap sate kami semua ngebut, terutama Mang Yopi bak kesetanan di jalan aspal. Putaran rodanya pun berhenti, bannya bocor. Disini kami gruping kembali. Gobar tanpa Om Vidi dan Om Jwk. Petualangan pun berakhir di Pelabuhan Ratu, pukul 20.00 WIB dengan elevasi 7000an mdpl dan jarak tempuh 185 km.

K-NIGHT, MTBMaraton

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasionalitas Akal Mencari Tuhan

Tak menjamah Puncak Gunung Kencana. Puncak Pass pun tak Mengapa

Peta Perjalannya Manusia (bagian 1)