Memburu Trek Makadam di Gunung Halimun


Pernakah bersepeda 25km dengan gradien sekitar 1-5 persen? Jika pernah, mungkin tak sampai memakan waktu tiga jam. Namun, kami menempuh jarak itu selama lima jam, bahkan mungkin lebih. Kok lama sekali ya, sesantai apa sih gowesnya. Tak seperti itu kok, dengan waktu tersebut ternyata 90 persen tenaga kami terkuras. Sebab trek yang saya tempuh bersama Oki Zakaria, Yopi Sopian & Naufal Ghani sejauh 25km itu full makadam. Agar Cadence tetap terjaga saat melibas trek ini, memang paling baik menggunakan sepeda MTB tipe fullsuspensi seperti yang digunakan Kang Oki. Jika tak ada, maka gunakan fork angin kelas menengah, semisal XCR atau Epixon Suntour. Jika tidak maka akan bernasib seperti saya.

Setelah "nyabu" di dekat PLTA Karacak, Cianten. Pukul 08.00 WIB kami mulai berangkat menuju warung Mang Ujang yang berdekatan dengan kebun Teh Cianten. Yah meski ngaret selama dua jam. Karena perjalanan masih sangat panjang. Saat menuju kebun teh yang menanjak, kami manfaatkannya sebagai ajang pemanasan kaki sekaligus menghemat energi. Dan sampai disana mengabiskan waktu tempuh selama dua jam lebih dikit. Di warung Mang Ujang, hanya Mang Yopi saja yang kembali ngemil nasi. Ghani nyeruput kopi. Sedangkan saya dan Kang Oki hanya meneguk secangkir teh manis dengan sedikit cemilan.

Energi kembali pulih. Saatnya melanjutkan perjalanan. Kali ini melalui trek di jalan Cipeteuy yang didominasi turunan berbalut beton dan aspal agak berpasir. Disini kami menambah kecepatan. Semakin tajam, trek mulai rusak. Saya akhirnya menarik diri dari rombongan. Sebab agak trauma dengan turunan dan ban yang kurang cocok di trek seperti ini. Sesuai pepatah Jawa, pelan-palan asal kelakon. Mereka pun menanti saya diujung turunan. Kami kembali berbarengan di jalan menanjak. Spot bagus, berhenti cekrek-cekrek. Lanjut lagi hingga dipertigaan kebandungan arah kanan menuju Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Disinilah dimulainya penyiksaan dengan trek makadam, namun dengan tekstur batu yang diam. Terus menanjak melewati persawahan dan perkampungan warga. Hingga diujung kampung, amunisi kami habis. Kami pun mengisi penuh bidon dengan air yang dibeli di warung terakhir. Trek semakin sejuk sebab mulai memasuki hutan Gunung Halimun yang dikenal sebagai habitat macam tutul. Disini perjalanan semakin seru, kami ditemani dengan kicauan burung yang saling menyaut dan beberapa suara hewan primata lainnya. Untungnya kami tak melihat si kucing besar yang sedang asik gegoleran.

Sesekali kami berjumpa petani bermotor yang membawa hasil panen berupa sayuran melewati trek ini. Semakin dalam trek mulai basah oleh mata air yang menggenang. Ini cukup menghambat bagi saya yang memakai ban dengan kembangan kecil. Membuat ban slip dan licin. Karena itu tiap ada genangan air saya tertingal dari rombongan. "Tapi hebat pasific nya ada sensor otomatis kalau lewat genangan air langsung mengurangi kecepatan sendiri. Teknologi volvo dipakai ini," canda Sang Marshal Oki. Namun mereka paham, dan mengurangi kecepatan menanti saya masuk rombongan kembali. Perjalanan terasa lama sekali. Waktu sudah semakin siang, tapi disini seperti masih pagi hari.

Akhirnya kami pun tiba di gerbang masuk TNGHS, sisa tenaga mulai menipis. Istirahat sejenak menjadi pilihan. Ghani pun merogoh kantong jerseynya. "Ini ada fitbar," ujarnya. Kami pun senang akhirnya ada juga asupan energi meski sedikit. Namun harapan buyar, ternyata hanya bawa satu saja. Terpaksa One for All. Satu dibagi empat. "Ga berasa cuma buat ngotorin gigi doang," canda Mang Yopi. Dari sini tujuan kami selanjutnya adalah Curug Cimacan yang tak jauh dari stasiun penelitian Cikaniki. Jaraknya sebenarnya tak jauh sekitar 6km lagi. Namun karena jalan makadam maka terasa jauh. Terus bergegas, kami mencoba menambah kecepatan sekitar 10km/jam. Pada akhirnya tiba juga di tujuan. Kami berjumpa dengan pemuda seperti kami. Ngobrol sedikit dan saya minta tolong potoin kami berempat. "Naik sepeda? Kami saja kesini naik mobil dua jam lebih. Rusak pula jalannya," tanya pemuda itu heran. Turun dikit, jalan sekitar 200m menuju Curug Cimacan. Sepeda hanya diletakan pada semak-semak. "Yakin disini sepedanya? Ga bisa dibawa ya," ujar Ghani. Kegelisahannya amat wajar sebab sepedanya mempuni kelas atlet. "Tenang aman kok, ga ada orang yang lewat sini juga. Apalagi bopong sepeda," ujar Kang Oki. Ternyata benar sulit membawa sepeda ke curug dan hanya kami berempat di curug ini.

Rasanya seperti menikmati wisata alam kelas VVIP hanya khusus kami saja. Mandi, sholat, refreksi air terjun dan cekrek-cekrek. Bekal yang tersisa hanya beberapa jeruk yang kami beli saat di Kabandungan. Lelah pun hilang. Lihat di map ternyata tempat ini belum setengah perjalanan kami melingkari Gunung Halimun. Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan. Trek masih serupa. Terus melaju tanpa melihat kebelakang. Ya-haaa hutan pun sudah terbuka. Saatnya menyusuri kebun Teh Nirmala. Makadam tak sebegitu parah, ternyata lebih mengemaskan, sebab batunya bergerak dan disini kerap dilalui mobil truk. Namun suasana amat berbeda. Panas Sang Mentari mulai terasa. Perut sudah merintih. Semakin lama sayup-sayup terdengar speker pengajian ibu-ibu. Hal ini membuat kami semakin semangat bergegas menuju sumber suara. Sebab disana pasti ada perkampungan.

Tiba di warung dekat sumber suara. Sambil menanti indomie teror, kami memakan jajanan yang biasa dijual saat kami SD. Ghani dengan sigap melahap hampir semua jenis jajanan di warung itu. Kami pun tertawa melihatnya. "Udah kunang-kunang laper banget," ujar Ghani. Waktu asar pun tiba, kami bergegas mencari musolla disekitar kampung tersebut sambil melepas lelah. Lanjut. Kami kembali meng-ngunyah trek makadam. Namun kali ini banyak trek menurunnya. Kami seperti "kesetanan" melibas trek ini. Balapan liar di trek makadam terjadi. Bahkan kami seolah lupa bahwa makadam kali ini batunya cadas & bergerak bak sedang menari saat terkena ban kami. Terus melaju cepat. Dengan suspensinya Sang Marshal terus menjauh. Kami bertiga tertinggal. Namun tetap mengejar. Tangan mulai keram, saya pun sadar fork tak sesuai habitatnya. Terpaksa melepas dari balapan liar. Kebetulan kang Oki kampas remnya habis dan menggantinya. Kesempatan saya meregangkan otot tangan yang kaku. Ada tukang eskrim lewat dan menawarkan esnya. Tak beli, diapun menyalip jalan kami.

Tak berlangsung lama, kami kembali menyusulnya hingga berjumpa di gerbang keluar kami di TNGHS atau gerbang masuk Gunung Halimun lewat Desa Malasari. Cekrek dulu sebelum memulai turunan kembali. Trek mulai aspal, kami pun lega. Namun  oh ternyata 80 persen hancur aspal nya hancur. Saat kembali mengayuh pedal disamping Mang Yopi ada ular yang siap dengan posisi menyerang. Untung saja refleks kaki lebih cepat dan tak jauh ban Kang Oki pecah. Lucunya kami semua membawa ban cadangan namun tak satupun yang membawa pompa. Memasukan rumput kedalam ban luar menjadi solusi agar roda bisa berputar lebih baik. Ide ini dari Mang Yopi yang mengetahuinya dari Youtube.

Tak jauh dari sini ada perkampungan kembali. Ketemulah bengkel motor, namun karena sudah hampir maghrib bengkel pun tutup. Saya memberanikan diri menyapa pemilik bengkel yang sedang santai dirumahnya. Alhamdulillah tanggapannya baik dan mau membantu menambal ban teman kami. "Nuhun pak moga bengkelnya barokah," ujar kami. Hari sudah gelap, perjalanan harus berlanjut melewati perbukitan. Kami terpaksa berhenti sejenak, Ghani minta berhenti. "Diem-diem baek, tadi kenapa ga kencing di rumah yang punya bengkel," tanya kami tertawa.

Tak ada satupun yang membawa senter. Hanya bermodal lampu kecil yang sudah redup kami melanjutkan perjalanan. Mungkin ini yang dinamakan gelap gulita. satu persen cahaya melawan sembilan puluh sembilan persen kegelapan. Itulah gambarannya. Gelap. Hujan pun turun trek menanjak sekitar 2km dengan cukup miring. Suasana semakin hening, beberapa anjing liar menggonggong sesekali mengikuti kami. Sangat mencekam sebab salah jalan nyawa taruhannya. Waktu terasa amat lambat. napas pun sudah tak beraturan. Setelah melewati perbukitan trek aspal semakin bagus. Jalanpun menurun namun kecepatan kami tak bertambah sebab, kegelapan masih bersama kami. Motor dan mobil sesakali melaju namun tak peduli pada kami yang tanpa cahaya.

Entah darimana tiba-tiba muncul angkot yang pengertian. Tetap dibelakang kami, seolah menjadi pelita yang menyinari kegelapan hingga tiba di perkampungan. "Terima kasih banyak pak supir moga berkah," teriak saya. "Sama-sama ya," sahutnya membalas. Namun setelah perkampungan, gelap gulita kembali menyapa. Untungnya Kang Oki sudah familiar dengan trek ini, sebab sejak dulu kerap berwisata menggunakan motor melalui trek ini. "Abis ini ada tanjakan sedikit terus belok kanannya," katanya.

Setelah memasuki perkampungan lagi ternyata gelap masih menghadang. Waduh masih gelap euy. Tapi mata kami pun mulai terbiasa dalam kegelapan. Kecepatan ditambah perlahan. Meski masih takut "nyungsep" di kebun orang. Sekitar 10km kami berada dalam "dark night". Bagi yang pernah mengalami seperti kami, pasti tahu betul sensasinya.


Akhirnya tiba juga di tempat ramai manusia, sekaligus berentinya hujan. Untungnya tak ada angin dan petir menyertai kami saat hujan. Penerangan jalan mulai banyak. Kami pun mulai tenang. Lapar sangat. Nasi padang pilihan utamanya. Di  warung makan sederhana ini kami saling berceloteh membahas perjalanan kami di trek Mc-Adam & dark night. Saya dibully, racun upgrade sepeda bertebaran disini. Ganti ban, fork bahkan frame. Sekalian fullbike. Hahaha. Tangki fullteng. Saatnya menginjak gas, eh pedal. Trek sudah normal, menurun, cahaya pun ada. Ngebutlah kami. Sekitar 8km lagi sampai di jalan Raya Leuwiliang. Gaspoolll. Sampai Leuwiliang pukul 21.00 WIB. Disini kamipun berpencar. Atas Rahmat Alllah Rabb Semesta Alam, kami sampai rumah masing-masing dengan selamat.

Testimoni:

"Pelajaran berharga untung ketemu orang-orang baik di jalan, warung tengah kebun teh yang murah & air putih gratis, tukang tambal ban Oki⁩ yang sudah tutup masih mau melayani, ketemu tukang angkot yang mau menemani menyinari dengan mobil angkotnya di tengah kegelapan. Alhamdulillah semua selamat sampai rumah masing2 tanpa kurang satu apapaun,eh nga baut chainring saya ilang 1," ujar Mang Yopi.


"Lain kali kesini harus bawa bekel, pisang goreng, kalo bawa tas, mending bawanya yang lengkap pompa+lampu dll, jangan nanggung, percuma bawa ban kalo gak bawa pompa lagi di hutan," ujar Ghani.


"Alhamdulillah semua selamat dan sehat wal afiat.. Cuma sedikit kenangan dari halimun loop kemarin pasti tangan nya masih pegel" yaa," ujar Kang Oki.




















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasionalitas Akal Mencari Tuhan

Tak menjamah Puncak Gunung Kencana. Puncak Pass pun tak Mengapa

Peta Perjalannya Manusia (bagian 1)